Bekal Rumah Tangga Sobat Milenial
Oleh: Santri DA
Al
Quran menggambarkan bagaimana Allah ﷻ menjadikan makhluknya berpasang-pasangan sebagai bukti
kebesaran dan wujud Allah ﷻ. Pasangan suami,
yaitu istri adalah ayat Allah, demikian sebaliknya. Maka pernikahan bukanlah semata
bertemunya fisik, pemenuhan hasrat biologis, melahirkan keturunan saja, akan
tetapi ada nilai yang lebih tinggi dan fundamental dalam berumahtangga, yaitu
membangun rumah tangga di atas din yang hanif ini agar rumah tangga
tersebut memperoleh ridho, rahmat dan berkah dari Allah ﷻ dan apabila dikaruniai keturunan, maka keturunannya merupakan
anak-anak yang menyejukkan pandangan mata.
Ironinya
bahwa persiapan menuju pernikahan kerapkali disibukkan dengan hal-hal yang
sifatnya bendawi dan tidak esensial, mulai dari pre weddingnya dimana, dresnya
warna apa, resepsi berapa biaya dan kapan waktunya serta berapa banyak undangan,
ngunduh mantu, bulan madu dan sebagainya, lalu melupakan atau hanya memberikan
porsi sangat kecil untuk hal yang sangat vital yaitu persiapan ilmu
berumahtangga.
Keawaman
seseorang akan sesuatu cenderung membuatnya melanggar, lalai atau bahkan menegasikan
sesuatu tersebut. Maka, mengilmui pernikahan sebelum melangkah kesana merupakan
hal yang urgen bagi setiap calon mempelai baik laki-laki maupun perempuan.
Menikah tanpa ilmu, beresiko sering konflik antar pasangan bahkan bisa sampai
pada bab perceraian dini, hal tersebut sering kita temukan belakangan ini.
Berumahtangga tanpa ilmu, halal haram bisa dilanggar, hak-hak bisa terabaikan,
kewajiban tidak tertunaikan, dan sebagainya. Jadi, ilmu dahulu baru menikah.
Ilmu adalah bab pembuka pernikahan. Ibarat sebuah kapal, maka kompas dari kapal
(rumahtangga) tersebut adalah ilmu, sehingga kapalnya tidak salah arah dan
tepat sasaran. Nakhoda rumahtangga adalah suami, tanpa kompas yang mumpuni di
tangannya, ia bisa saja keliru dalam membawa kapal tersebut, membahayakan
seluruh penumpangnya.
Berapa
lama belajar ilmu pernikahan atau berumahtangga? Jawabannya, sepanjang hayat.
Sebab menikah itu asalnya hanya sekali saja dan untuk selamanya. Maka,
menikahlah dan terus belajar dengan cara hadir di majlis ilmu, mendengarlah
dengan baik, bertanya jika tidak mengerti lalu pulang dan amalkan ilmu itu.
Akan lebih indah lagi jika pasanganmu turut hadir di majlis tersebut. Selama
pasangan hadir di majlis ilmu dan berdzikir kepada Allah maka insya Allah rumah
tangga tersebut potensi untuk turun sakinah, demikian sebaliknya, jika rumah tangga
sudah tidak dihiasi dengan hadir di majlis ilmu serta berdzikir kepada Allah,
alamat suami menjadi cobaan berat bagi istri atau sebaliknya.
Bab
pertama bagi mempelai, mengilmui tujuan
menikah. Tujuan menikah beragam;
1.
Memenuhi
kebutuhan biologis. Ini paling rendahnya tujuan menikah dan tidak mengapa
menikah karena hajat tersebut. Sebab jika tidak dipenuhi dengan cara yang halal
tentu akan lari kepada lawannya yaitu keharaman/ zina. Untuk maslahat dan
menghindari mafsadat, baik menikah karena hajat tersebut bahkan juga terhitung
ibadah jika diniatkan untuk menghindarkan diri dari maksiyat.
Allah juga telah menjadikan fitrah laki-laki cenderung kepada
wanita. Wanita diciptakan memang dengan rupa yang menarik dipandang. Hewan juga
memiliki ketertarikan itu dengan lawan jenisnya, maka pembeda antara hewan dan
manusia, sekalipun disebut nafsu hewani, manusia mendatangi dan berkumpul
dengan pasangannya menurut cara yang
Allah ridhoi dan sesuai contoh dari Rasulullah ﷺ.
Maka, jika ada laki-laki bercampur dengan wanita tanpa haknya, hakikatnya
mereka menzalimi diri sendiri, merendahkan martabatnya, sebagaimana hewan.
Sebab itu zina adalah rendah dan hina, pelakunya juga. Kecuali ia bertaubat
nasuha, Allah Maha Penerima Taubat.
Seorang laki-laki, memiliki hormone testosterone dan dalam waktu
tertentu bisa meningkatkan libido laki-laki tersebut yang jika tidak
disalurkan, maka bisa berdampak negative, emosional, memicu stress dan
sebagainya, Allah maha tahu akan ciptaannya, sehingga disyariatkanlah menikah
sebagai jalan bagi persoalan tersebut. Maka barangsiapa mencari jalan selain
jalan tersebut sungguh ia telah dzalim dan melampaui batas. Mereka itulah yang
menghalalkan zina dan LGBT, naudzubillah.
2. Menyempurnakan separuh agama. Menikah
adalah bagian dari agama. Barangsiapa menikah ia telah menyempurnakan sebagian
dari agamanya. Cukuplah kematian yang paling jelek adalah mati dalam keadaan
membujang.
3. Estafet kehidupan melalui keturunan yang
didambakan oleh setiap insan yaitu anak sholih. Sudah menjadi fitrah manusia
dengan menikah mengharapkan keturunan. Keturunan inilah nantinya yang akan
meneruskan estafet kehidupan ini. Tentu bukan sembarang keturunan yang
diharapkan. Anak-anak yang dimaksud adalah mereka yang tumbuh dengan agama,
akahlak, dan adab yang baik, membanggakan kedua orangtuanya di dunia dengan
hiasan ketiga hal tersebut serta di akherat menolong orangtuanya di hadapan
Allah ﷻ.
Bab
kedua, mengilmui hak dan kewajiban.
Hak
suami atas istri (kewajiban istri untuk memenuhi sesuai kemampuannya).
1.
Melayani
suami dengan cara yang ma’ruf
2.
Mentaati
suami dalam hal yang ma’ruf
3.
Amanah;
Menjaga harta suami
Hak istri atas suami (kewajiban suami untuk memenuhi).
1.
Pakaian
2.
Makanan
3.
Tempat
tinggal
4.
Pendidikan
5.
Perhatian
Kewajiban bersama (suami dan istri).
Mendidik anak.
Bab
ketiga, problem dalam rumahtangga dan
menyikapinya.
Problem
dalam rumahtangga hal yang pasti terjadi. Ingat itu wahai sobat milenial yang
akan menikah. Pola pikir atau bawah sadar menikah itu semuanya menyenangkan
bukan hal yang salah secara mutlak, tapi harus diimbangi dengan pemahaman bahwa
hidup adalah ujian. Sepanjang nafas masih ada di kerongkongan maka selama itu
masih akan ada ujian, hatta orang yang sakaratul maut pun masih ada
ujiannya, apalagi pasangan suami istri dalam rumah tangga.
Suami
adalah ujian bagi istri dan sebaliknya. Anak adalah ujian bagi kedua orangtua,
bisa jadi sebaliknya. Kalaupun semuanya baik (suami, istri dan anak), pasti akan
ada saja yang datang menjadi batu fitnah bagi rumah tangga tersebut, misalnya
mertua, adik ipar, kerabat, tetangga, dan sebagainya. Sebab hidup adalah tempat
ujian. Alamat keliru jika menganggap dengan menikah semua persoalan tidak ada.
Justru dengan menikah anda harus siap dengan persoalan-persoalan.
Menikah
dimaklumi akan terjadi konflik misalnya. Menikah akan timbul persoalan. Maka,
yang terpenting adalah bukan persoalannya. Jika seorang mahasiswa misalnya
ingin lulus ujian, maka jawabannya bukan dengan memikirkan ujian tersebut sampai
stress melainkan bagaimana agar ujiannya berhasil itulah yang seharusnya
menjadi fokus. Sama halnya dalam rumah tangga. Solusi apa yang terbaik bagi
kedua belah pihak (andai terjadi konfflik). Jalan keluar apa bagi persoalan
ekonomi rumah tangga, dan sebagainya. Itulah yang menjadi perhatian.
Bab
keempat, anak dan harta warisan.
Anak
adalah karunia Allah yang paling besar bagi orangtua. Ia adalah amanah Allah yang
harus dijaga, dididik agar tetap sesuai dengan fitrahnya yaitu di atas kalimat la
ilaha illalloh. Anak juga adalah ujian dan hiasan bagi orangtua serta harta
warisan paling berharga jika mereka dididik dengan benar. Maka, orangtua tidak
boleh sembarangan menitipkan anaknya di lembaga pendidikan. Periksa terlebih
dahulu akidah, akhlak dan kebiasaannya. Jika gurunya benar, anak didiknya juga
akan mengikuti. Demikian sebaliknya.
Harta
warisan juga adalah titipan Allah. Seseorang yang meninggal dunia, hartanya
menjadi milik ahli warisnya, mulai anak, istri, ibu jika tidak ada anak,
saudara kandung jika tidak ada anak, dan seterusnya. Jika harta tersebut tidak diberikan
kepada yang berhak menerimananya, tentu jatuh kepada keharaman. Alamat celaka
si mayit di alam kubur, sebab harta tersebut menjadi asbab datangnya siksa
kubur. Jika diilmui dengan baik, tentu akan terserap dengan baik oleh
mustahiqnya. Maslahat untuk semua, terutama bagi si mayit.
Komentar
Posting Komentar