Menjadi Khoirunnas

 

Menjadi Khoirunnas

Khoirunnas boleh diartikan manusia terbaik atau sebaik-baik manusia. Dalam redaksi hadits Rasulillah , kita temukan pernyataan beliau setidaknya ada 4 kelompok kategori manusia terbaik ini. Tentu kita tidak menafikan bahwa masing-masing manusia terlahir dengan keunikannya dan karakternya yang berbeda dengan manusia lainnya. Setiap manusia adalah istimewa, memiliki bakat bahkan minimal dengan tiga bakat melekat dalam dirinya, dan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi manusia terbaik tersebut.

Jika ada pernyataan positif terhadap sesuatu, maka menunjukkan pernyataan yang berlawanan kepada yang sebaliknya, sebagaimana perintah terhadap sesuatu, larangan untuk yang berlawanan dengannya. Maka, jika ada manusia terbaik, ada pula manusia terburuk. Siapapun diantara kita, saya yakin bercita-cita untuk menuju kesana. Tiada kata terlambat untuk mengatakan saya sudah terlalu tua, saya sudah terlanjur bergelimang dosa, saya, saya, saya, dan seterusnya, sebab selama anda belum mengalami sakaratul maut, artinya anda masih memiliki peluang untuk menjadi bagian dari hamba terbaik itu.

Anak keturunan kita adalah tabungan akherat. Jariyah bapak dan ibu sekalian. Maka, mengilmui menjadi manusia terbaik ini merupakan poin penting, sebab jika bapak atau ibu tidak menjadi bagian dari manusia terbaik ini, setidaknya anak keturunan yang mengambil bagian.

Kategori pertama. Khoirunnas anfauhum linnas. Yang terbaik adalah yang paling bermanfaat kepada sesama manusia. Maka, Profesi terbaik adalah profesi yang berorientasi kepada kepentingan banyak orang. Usaha atau bisnis terbaik adalah bisnis yang berdampak positif kepada masyarakat luas, bukan hanya untuk kompeni dan rekan bisnisnya saja. Lembaga pendidikan terbaik adalah lembaga pendidikan yang hadir di tengah masyarakat dan dinikmati oleh semua kalangan. Ironi sekali jika kita melihat sekolah dengan gedung menjulang tinggi, fasilitas mewah tapi eksklusif. Pemerintah terbaik adalah pemerintah yang memikirkan kesejahteraan rakyatnya di atas partai dan golonganya. Petani terbaik adalah petani yang memikirkan perut tetangganya, dan sebagainya.

Menjadi manusia paling bermanfaat tentu tidak mudah dan serta merta begitu saja. Diperlukan proses untuk menuju kesana mulai dari belajar menuntut ilmu. Ilmu fundamental dalam hidup yakni tauhid. Dengan ilmu tersebut seseorang menjadi paham akan hakekat ia hidup, diantaranya bahwa ia bukan makhluk individual yang hanya terpusat pada dirinya saja tetapi ia juga adalah makhluk sosial yang harus memberikan arti bagi sekitarnya. Proses belajar ini panjang. Sebagaimana pendidikan sejatinya sepanjang hayat. Ketika seseorang berhenti belajar, saat itulah ia menjadi jahil dan akan timbul penyakit misalnya ia menjadi kikir, rakus, sombong, merasa harus dimuliakan orang karena “merasa” memiliki, rawan merendahkan orang, dan sebagainya. Jadi, terus belajar adalah kunci untuk menjadi manusia paling bermanfaat. Disamping, ia harus tahu apa dan bagaimana menjadi manusia yang bermanfaat. Mustahil ia memberi, jika ia sendiri tidak memiliki. Logika sederhananya seperti itu.

Kategori kedua. Khoirukum man taallamal quran wa allamahu. Yang terbaik adalah yang belajar Al Quran dan mengajarkannya. Pertanyaan saya, menjadi terbaik itu karena sebab Al Qurannya atau karena belajarnya? Jawabannya karena kedua-duanya. Karena dengan belajar seseorang berpotensi naik derajatnya setingkat para Nabi, mereka pewaris para Nabi dalam membacakan ayat-ayat Allah serta memperingatkan manusia kepada kebenaran dan mencegah mereka dari kebathilan. Adapun yang kedua karena sebab Al Quran. Al Quran adalah kalam Dzat Yang Maha Mulia yaitu Allah, maka tidaklah serius dalam mempelajarinya melainkan orang mulia dan sebaliknya, tidaklah memandang gak penting atau sekadar saja terhadap pembelajaran Al Quran melainkan itulah kadar nilai orang tersebut.

Nabi menggaransi orang yang belajar Al Quran dan mengajarkannya adalah manusia terbaik. Hatta penunjukan seorang pemimpin di kalangan sahabat tolak ukurnya adalah jumlah hafalan Al Qurannya terutama surat Al Baqarah. Hari ini ada fakta menarik dengan manjamurnya rumah tahfidz, sekolah tahfidz hatta sekolah umum juga mengupayakan agar ada program tahfidznya, terlepas dari motif masing-masing apa.

Satu sisi, kesyukuran bagi kita dengan banyaknya rumah tahfidz atau pesantren. Di sisi lain, menjadi tantangan tersendiri. Sebab belakangan ini kita juga dikejutkan dengan media yang mengatakan rumah tahfidz ini berbahaya, potensi sarang ISIS dan sebagainya. Itu dari eksternal. Dari internal sendiri juga muncul problem yaitu kebanyakan dari sekolah tahfidz ini belum berani untuk fokus dengan program tahfidz saja misalnya, masih banyak keraguan nanti lulusannya bagaimana akan mandiri jika hanya menjadi hafidz dan sekian perdebatan lainnya, ujung-ujungnya dipadukanlah tahfidz ini dengan keterampilan sejak awal, dengan materi umum, dan sebagainya. Pada dasarnya tidak ada masalah dengan itu. Hanya saja, tidak semua anak yang siap dengan konsep nasi pecal begitu. Ada anak yang siap hanya dengan nasi saja, atau sayur saja atau maksimal dengan nasi sayur plus ikan, apalagi lembaga dengan konsep boarding yang tantangannya beda sekali dengan non boarding. Akhirnya, yang terjadi adalah menjamurnya sekolah baru dengan segala keunikannya (kelihatannya), tapi produk lulusannya sama saja dengan lembaga yang lain.

Belum lagi kualifikasi SDM lembaga pendidikan yang juga menjadi PR. Orang-orang yang tidak mengerti konsep Al Quran atau tahfidz secara khusus dijadikan Pembina. Alih-alih membawa perubahan positif, justru menambah pundi masalah lembaga. Bisa jadi hal tersebut terjadi karena ia tidak mengerti esensi dari program tahfidz atau faktor lainnya. Pembina tahfidz tanpa pengalaman boleh saja. Kuncinya, ia adalah seorang learner yang baik, komunikatif dan evaluative.

Mendirikan rumah tahfidz sebagai bentuk ikhtiar dalam mencetak manusia terbaik di masa sekarang ini harus dengan pengelolaan yang professional dan manajemen yang baik. Tidak bisa asal jadi dan asal jalan saja. Merangkak dari dasar, boleh. Bersusah dahulu karena keterbatasan biaya atau SDM, bukan masalah. Tapi jangan karena keterbatasan itu lalu tim menyempitkan pola pikir dan menurunkan target pencapaian lulusan. Justru dengan capaian lulusan yang tinggi, sekolah atau lembaga tersebut menjadi buah bibir dimana-mana. Orang datang dari berbagai negeri hatta indent kuota penerimaan calon santri barunya. Kenapa? Karena adanya garansi kualitas output lembaganya.

Ketiga. Khoirukum khoirukum liahlihi. Yang terbaik adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Nabi mencontohkan, beliau dengan segala kesibukannya sebagai Rasul dan pemimpin kaum muslimin, saat kembali kepada keluarganya, beliau tetap menjadi ayah, suami dan sahabat bagi keluarganya. Aisyah menceritakan “Nabi tatkala kembali ke rumah, kerapkali membantu urusan di rumah”, Nabi bahkan menjahit kainnya yang sobek dengan tangannya yang suci, dengan cucu-cucunya beliau sempatkan waktu untuk bermain bersama mereka (Hasan dan Husein), beliau senang Hasan dan husein naik di pundak beliau. Beliau melayani keluarganya dengan kasih sayang dan cinta. Tidak ada kata kasar apalagi kekerasan dalam rumah tangga Nabi.

Alangkah disayangkan, para suami hari ini, mereka memperlakukan istri tak obahnya budak yang ia miliki. Diperlakukan sesuka hatinya. Diperintah semaunya. Harus tunduk pada ego dan nafsunya. Sementara istri tidak boleh sedikitpun membela diri. Rumah tangga kerap dihiasi dengan cacian dan makian atas istri. Salah sedikit, hujatan hatta barang-barang di rumah berterbangan. Innalillah. Dimanakah nilai-nilai kebaikan dalam rumah tanngga? Dimana rasa kasih sayang, kelembutan, mengayomi suami atas istrinya? Apa sebab terjadi demikian?

Tentu, orang akan menjawab, banyak variablenya. Bisa jadi istrinya yang kurang ajar, tidak tahu sopan santun, melayani suami dengan baik tidak mengerti, serba berkekurangan dan sebagainya. Maka kami jawab, seburuk apapun istri, sekurang apapun dia, saat suami berakad dengan walinya saat itulah teralih ke tangan suami tanggungjawab untuk mendidik istrinya dengan baik. Sehingga, jika setelah 20 tahun atau 30 tahun menikah, kok suami merasa istrinya serba berkekurangan, maka yang jadi persoalan hakikatnya bukan istrinya, melainkan dia sebagai suami yang bermasalah. Sebab, pendidikan istri adalah kewajiban dia. Bisa jadi memang suaminya tidak pernah mengajarkan, mencontohkan atau setidaknya membawa istrinya ke majlis ilmu. Jelas, istrinya adalah tulang rusuk yang bengkok. Dilepas begitu saja dia akan terus bengkok. Diluruskan paksa juga dia akan patah.

Suami yang baik, bukan hanya yang mampu shalat 5 waktu, puasa ramadhan, aktif sedekah, shalat malam, dan sebagainya, akan tetapi tidak mampu menjadi baik terhadap istri dan anak-anaknya. Alamat aneh, jika ada manusia semacam itu. Shalat dan amaliyahnya yang lain tidak membekas sama sekali atas dirinya. Kenapa bisa? Bukankah semestinya shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar? Tentu bukan shalatnya yang salah, manusianyalah yang salah dan perlu evaluasi diri.

Rumah tangga baik, generasi umat ini pasti baik. Sebab, guru dan madrasah pertama anak-anak umat ini, adalah para orang tua. Maaf seribu maaf, bagaimana anak-anak akan menjadi pribadi yang santun, penyabar, mudah bergaul, jika tauladan pertamanya di rumah kasar, ego tinggi, apatis, intoleran, pemarah dan sebagainya. Maka, ayah dan bunda adalah kunci bagi perbaikan generasi umat ini. Sebelum berfikir menyerahkan pendidikan mereka kepada lembaga pesantren, untuk dididik poro yai, terlebih utama ayah dan bunda harus memperbaiki diri dahulu. Kasihan, banyak kasus terjadi, anak diserahkan kepada lembaga pendidikan terbaik  namun lulus dari lembaga tersebut, tidak membekas sama sekali. Apakah lembaga yang salah? Usut punya usut, faktor terbesar indikatornya adalah keluarga yang caos. Sebaik apapun lembaganya, tidak berpengaruh, karena batin santri tersebut sudah lama rusak dan terlalu lama rusak. Pantas saja, nanti di akherat orangtua bisa jadi diseret ke neraka sebab mengabaikan amanah Allah, yaitu anak yang suci dan lahir dalam keadaan fitrah.

Keempat. Panjang usianya dan baik amalnya. Usia merupakan satu dari 4 nikmat yang Allah karuniakan kepada manusia. Nikmat tersebut pasti akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah. Usia yang Allah berikan, bukan soal kuantitasnya, akan tetapi bagaimana penggunnaan masa usia tersebut. Adakah dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul atau sebaliknya durhaka kepadaNya. Adakah hari-harinya diisi dengan dzikir kepada Allah atau tidak. Manusia yang usianya berkah, pasti hari-harinya berada dalam kemuliaan dan itu tanda Allah meridhoi orang tersebut. Panjang usia, amal buruk, justru bisa jadi istidhraj, kelihatannya nikmat padahal laknat. Perbanyaklah mengambil I’tibar wahai orang-orang yang berfikir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Problem lembaga pendidikan

Tips Memilih Pondok Pesantren (Sekolah lanjutan)

Alergi dengan Kata Khilafah, Jihad dan Ummah???