"Millenial; Fansnya Mayit

 

Tema: Belajar Dari Mereka Yang Telah Mati

Oleh: Wahyudi Trihidan

Millennial generation atau generasi Y juga akrab disebut generation me atau echo boomers. Generasi ini tidak bisa lepas dari dunia internet, online atau dunia maya. Anda yang terlahir tahun 90-an ke atas juga merupakan generasi millenial, tunas bangsa, generasi emas, kata sebagian orang. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kita hidup di masa yang penuh question  mark. Di satu sisi, masa depan bangsa ini seakan-akan ada di pundak millenial, merekalah pemilik tanah ini, kesejahteraan sosial seakan jelas di hadapan mereka.

Di sisi lain, generasi ini dihadapkan pada realita; pemerintahan yang korup dari elite hingga ketua RT, demokrasi yang tidak sehat, ekonomi yang tidak stabil, harga-harga terus naik, hutang negara yang kian membengkak, lembaga peradilan hukum yang tidak berintegritas, sistem pendidikan yang tidak relevan, (mohon maaf) para akademisi yang dapat dibeli, para elite yang hanya mementingkan koloninya, partainya, dan sebagainya.

Kesimpulannya; “keadaan yang sangat kacau di segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara”.
Dari realita tersebut, sebagai millenial, kami bertanya, lalu jika demikian keadaannya, lantas kami harus ittiba’ kepada siapa? Siapa yang dapat kami percaya sebagai ikutan?
“Apakah kepada pemerintah yang jelas-jelas tidak pro kepada kami?”.
“Ataukah kepada mereka yang disebut pakar hukum yang justru 2 dari 3 hakim tempatnya di neraka?”.
“Atau kepada professor-professor di lembaga pendidikan tinggi yang tajam pikirannya tapi tumpul lisannya dalam menyuarakan kebenaran bahkan tidak sedikit yang dapat dibungkam ketajaman akalnya dengan rupiah?”.
“Atau kaum agamawan yang juga (mohon maaf) penuh question mark dewasa ini???”
(Tentu, bukan maksud kami mengatakan semua akademisi, hakim, politisi, aparat pemerintah dan pejabat seperti di atas keadaannya semua, tidak. Kami bersangka baik bahwa masih ada mutiara yang tersembunyi, berintegritas, mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri dan golongan diantara mereka itu, hanya saja tertutupi oleh lautan kotor nan hitam sehingga mutiara itu sulit ditemukan atau tidak terlihat).

Untuk persoalan di atas, kami temukan jawabannya dalam perkataan sahabat Nabi ﷺ, Abdullah Ibnu Mas’ud, berkata: “ barangsiapa mengikuti, maka hendaklah ia mengikuti orang yang telah meninggal dunia. Sebab orang yang hidup tidak aman dari cobaan hidup. Mereka itulah para sahabat Muhammad ﷺ. Mereka adalah umat ini yang paling utama, hatinya yang paling berbakti, ilmunya yang paling mendalam, bebannya paling sedikit, yang dipilih Allah sebagai pendamping Nabi-Nya dan untuk menegakkan agama-Nya. Maka kenalilah keutamaan mereka, ikutilah jejak mereka, pegangilah akhlak dan perikehidupan mereka menurut kesanggupan kalian, sesungguhnya mereka berada pada petunjuk yang lurus”.
Ya. Mengikuti orang mati memang lebih rasional daripada orang yang kelihatannya hidup. Orang hidup nafsu-syahwat kepada wanita, harta dan anak – anak masih terus mengintai dirinya, kepentingan demi kepentingan di hadapannya, kekuasaan ingin dimiliki dan lain sebagainya. Itulah fitnah dunia dan kesenangannya yang dapat melalaikan siapapun yang hidup. Bukan kesusahan yang membuat seseorang jatuh, gelap mata, tapi justru kesenangan dunia dan hiasannya itulah yang sering menjerumuskan seseorang.

Masih belum percaya orang mati itu justu lebih hidup?
Allah ta’ala berfirman dalam Surat (Ali Imron: 169): “Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, justru mereka hidup disisi Tuhannya mendapatkan rezeki”.
Sebagian millenial menjawab; “baik! kami mau ittiba’ dengan orang mati, tapi jangan yang berbau Arab, jangan impor”. Wahai saudaraku, produk dalam negeri juga berlimpah dengan kualitasnya yang mendunia, jika demikian keinginanmu maka itiiba’lah kepada para pendiri bangsa yang tidak akan kita temukan dari elite hari ini setulus mereka dalam membangun dan memperjuangkan negeri serta rakyatnya.

Kita punya KH Agus Salim, tokoh nasional dan religius, menguasai 7 bahasa asing, diplomat yang ulung, tidak pernah berfikir untuk kekayaan pribadi dan koloninya.
Ada pula pangeran Diponegoro, bangsawan yang ulama dan pejuang. Bagi beliau lebih baik berputih tulang daripada melihat tanah airnya diambil oleh penjajah. Duhai, mental seperti ini yang semestinya kita miliki sebagai anak bangsa.

M. Natsir. Siapa yang tidak kenal nama beliau. Bapak pendiri bangsa yang satu ini, seorang ulama, politikus dan pejuang kemerdekaan, dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya. Fasilitas yang diberikan Negara kepada beliau selaku perdana menteri, tidak menjadikan beliau lupa diri, justru kehidupannya tetap dalam kesederhanaan.

Kalaupun engkau tidak mampu 100 % menjadi seperti mereka, paling tidak ikutilah mereka semampumu. Jika tidak mampu juga, maka jangan menjadi pengkhianat bagi bangsa ini. Sebisa mungkin berfikirlah untuk menjadi solusi minimal untuk diri dan keluargamu. Selalulah tanyai dirimu, adakah aku ini bagian dari solusi atau justru bagian dari masalah. Jika engkau dapati diri dalam keadaan galau, tidak tentu arah, segeralah kembali kepada mereka yang telah mati, bercengkramalah dengan sejarah dan perihidup mereka, pelajari dengan sungguh-sungguh, niscaya engkau temukan solusi disana. 

Apakah semua orang yang mati keadaannya sama? Tentu tidak. Yang kami maksud orang yang mati dan dijadikan ikutan adalah mereka yang mati dalam keimanan, menebar rahmat bagi alam selama hidupnya, namanya harum di tengah manusia dikarenakan akhlak dan budi pekertinya yang tinggi, kedudukan mereka mulia sekalipun bukan pejabat negara, mereka itulah para sahabat Nabi, para tabiin dan orang - orang yang meniti jalan mereka termasuk para tokoh bangsa ini, seperti Syaikh Ahmad Yasin Al Fadani, dari Padang. Ada pula syeikh Hasyim Asy'ari, KH Ahmad Dahlan, Syeikh Abdul Somad Al Falimbani, Sheikh Nawawi Al Bantani, dan lain sebagainya.

Lantas bagaimana cara kita bercengkrama dengan mereka? Sehingga kita memperoleh ilmu yang haq dan mencerahkan sebagaimana para pendahulu kita. Salah satu jalannya adalah dengan bertalaqqi, mengambil ilmu langsung dari guru yang credible, memiliki sanad ilmu yang jelas sambungnya hingga Rasullullah ﷺ. Alhamdulillah, di seluruh penjuru negeri ini telah tersedia banyak lembaga pendidikan baik formal maupun non formal untuk memperoleh ilmu tersebut. Kemauan yang kuat dari millenial hari inilah yang akan menghantarkan kepada ilmu tersebut.
Akhir-akhir ini, kita melihat ramai millennial yang sudah mulai melirik kehidupan generasi terdahulu. Hal tersebut indikatornya seperti banyaknya millennial yang hadir majlis ilmu baik offline maupun online, gerakan hijrah dan sebagainya. Namun sayangnya, kerapkali mereka hanya disibukkan dengan masalah khilafiyah, lalu mereka lupa dengan ketinggian akhlak dan keluasan hati sahabat Nabi ﷺ. Sehingga, tulisan, cuitan di media sosial sama sekali jauh dari contoh generasi salaf. Semoga millennial bisa terus bertransformasi menjadi lebih baik dan menjadi manusia yang membawa makna bagi kehidupan.
Kata kunci agar sobat millenial tidak salah dalam melangkah adalah Kitabullah, berpengangteguh dengannya dan Sunnah Nabi ﷺ. Dekatkan diri dengan lembaga-lembaga yang memprioritaskan Al Quran baik dalam bacaan apalagi aplikasi kandungan ayatnya dalam realita kehidupan, misalnya ayat tentang bisnis, kenegaraan, hukum, dan sebagainya diterapkan dalam aktifitas sehari-hari santri. Pertanyaannya, apakah ada lembaga pendidikan dengan konsep yang demikian itu? Jawabannya ada dan pasti ada. Salah satunya misalnya silahkan kunjungi www.tsurayyatalents.com. 

Perumpamaan orang yang hidup dan mati seperti rumah dan kuburan. Rumah di dalamnya terdapat kehidupan dan kemanfaatan, ada amal sholih, jariyah, ada silaturahmi, dan sebagainya. Adapun kuburan, sepi dari amal-amal sholih dan tidak mampu memberi kemanfaatan. Dimanakah posisi kita hari ini sobat millenial? Adakah sebagai bangkai yang berjalan di atas muka bumi??? Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang yang berakal.
Wallohu ta’ala a’lam bisshowab…wyhd.lbs

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Problem lembaga pendidikan

Tips Memilih Pondok Pesantren (Sekolah lanjutan)

Alergi dengan Kata Khilafah, Jihad dan Ummah???