Problem lembaga pendidikan
Lembaga pendidikan di Indonesia terdiri dari tiga kelompok
besar, yaitu formal, non formal dan informal.
Lembaga formal hampir mendominasi seluruh aspek pendidikan sekolah
di Indonesia. Mulai kurikulum, administrasi, ekstrakurikuler, keterampilan, dan
sebagainya. Lembaga formal dengan cirinya; semua serba teratur, terstruktur,
dan sistemastis. Misalnya, terdapat jenjang pendidikan yang terstruktur mulai
pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Lembaganya mulai dari TK, PAUD, SD, SMP/
MTs/ SMA/ MAN/ SMK, dan PT/ Universitas. Pembelajarannya cenderung dilakukan di
kelas. Kurikulumnya sudah baku dari kementerian pendidikan. Siswa cenderung
dianggap sebagai sasaran objek yang harus dipintarkan, objek yang harus
diperbaiki moralitasnya, dan sederet intervensi pembelajaran lainnya, serta Orang
tua tidak terlibat aktif dalam proses penyusunan kurikulum atau pembelajaran. Bahkan,
sebagian lembaga formal hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu. Pembelajaran
cenderung monoton dan satu arah.
Dewasa ini, pendidikan formal banyak mendapat sorotan dari
berbagai kalangan. Terutama pemerhati pendidikan. Salah satunya sebut saja Pak
Ahmad Bahruddin, penggagas berdirinya sekolah non formal Qoryah Toyyibah,
Salatiga, Jawa Tengah. Keprihatinan beliau ketika mengetahui bahwa angka
partisipasi murni (APM) untuk usia SMA di Jawa Tengah 2014-2018 masih di angka
59, 31 %. Masih terdapat 40, 69 % yang ternyata bukan hanya tidak bisa
melanjutkan studi tetapi sudah enggan studi.
Lain pula dengan pakar sekolah non formal lainnya, bapak Lukman
Hakim, yang menilai bahwa sebagian besar anak dimasukkan ke pondok pesantren misalnya
bukan berdasarkan pilihan si anak, melainkan desakan orang tua, sehingga anak
tidak enjoy belajar. Padahal, belajar itu mestinya pilihan anak dan ia enjoy
melakukannya. Disamping itu, beliau juga menambahkan bahwa berapa banyak
sekolah yang hari ini meluluskan anak didik tapi tidak dengan keterampilan yang
siap “earn” di masyarakat. Akhirnya, alih-alih output lembaga menjadi solusi
bagi masyarakat, justru menjadi problem baru karena anak-anak tersebut tidak
bisa mandiri.
Ya, lembaga non formal merupakan kebalikan dari lembaga
formal. Lembaga non formal hadir dengan keuikannya tersendiri, yaitu kurikulum
yang flexible serta terpersonalisasi, orang tua dilibatkan dalam proses
penyusunan dan pembelajaran anak, serta lembaga hadir di tengah masyarakat,
bersifat inklusif yaitu dapat dinikmati oleh semua pihak, dan hadirnya lembaga
berdampak kepada masyarakat. Tempat belajar mereka adalah alam, semua orang
adalah guru, dan kehidupan adalah pustaka mereka.
Memang, masing-masing lembaga tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangannya. Perhatian utama kita tentu pada sisi kelebihan. Analogikanya,
anak dengan sepuluh kelebihan dan satu kekurangan, jika didahulukan untuk
memperbaiki kekurangan, maka si anak baru bisa memperbaiki diri, belum menjadi
kekuatan diri. Namun, jika potensi kelebihan anak yang menjadi prioritas maka
tentu kelebihan tersebut akan menjadi kekuatan, yang tadinya hanya sebatas tahu
misalnya, menjadi terampil, lalu excellent, menuju skill dan puncaknya menjadi
cita-cita (dream). Dream merupakan kekuatan anak.
Lembaga non formal hadir dengan talents maping yang sangat
membantu para guru dalam memetakan minat dan bakat siswa. Anak-anak diberikan
materi ajar, keterampilan dan ekstrakurikuler sesuai dengan minatnya. Sehingga tidak
akan ada lagi keluhan siswa saya bosan atau jenuh dengan matematika, kimia,
biologi, dan sebagainya.
Hanya saja, lembaga non formal, sebagaimana formal, juga
memiliki sisi kelemahan, yaitu output lembaga potensi tidak mampu menguasai
ilmu teori secara utuh, sebab non formal lebih mengedepankan sisi praktik. Tidak
terbayangkan, jika suatu saat anak-anak diminta maju dan berdebat di muka publik
untuk membela agamanya misalnya, atau mengkritisi kebijakan pemerintah, maka ia
akan bungkam seribu bahasa. Mereka cenderung mudah diarahkan oleh pemikiran
manapun. Sebab, pada dasarnya alam pikiran adalah kunci bagi manusia tersebut. Pendirian
itu dibentuk melalui pikiran, bukan aplikatif.
Kelemahan tersebut, bisa diantisipasi dengan memberikan program
yang dapat mengembangkan pikiran peserta didik, melalui kelas literasi atau
kelas ide, melibatkan siswa dalam dialog, musyawarah/ diskusi, maupun debat di
berbagai suasana dan jenjang usia, serta membuka cakrawala berfikir siswa
dengan menghadirkan perkembanga ilmu pengetahuan dan teknologi dalam keseharian,
dan sebagainya.(bersambung)
Komentar
Posting Komentar