CINTA SUKU BUGIS, MAKASAR


Oleh: Wahyudi Trihidan

Akhir tahun 2021 ini tidak ada niatan untuk berkunjung ke Jakarta, tapi Allah jua yang menentukan kemana hambanya melangkah, besok bertemu dengan siapa, mengalami hal apa, beruntung atau merugi, dalam hidayah atau kesesatan, dan sebagainya. Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (baca: tentu tidak ada dalih bagi ahli maksiyat mengatakan “kan ini dari Allah, saya begini takdir Allah, dan sebagainya”). Apapun yang menimpamu dari kebaikan pasti dari Allah dan apapun yang menimpamu dari keburukan ia adalah dari dirimu sendiri.

Saya putra Mandailing, dari seorang ayah yang mulia, nasab yang baik, Mustamir Lubis bin Alinuddin Lubis bin Sutan Roken, marga Lubis, dari jalur “Namora Pandebosi”. 

Betapa saya baru tahu di usia 30 tahun bahwa ternyata Mandailing ini ada pertalian dengan suku Bugis, Makassar, sebab Namora Pandebosi ini berasal dari sana, bukan dengan suku Batak sebagaimana yamg disimpulkan sebagian orang. Jelas, Mandailing bukan bagian dari Batak.
Pertemuan yang tidak pernah terbayang sama sekali pada tempat dan waktu yang juga tidak  biasa.
Udak kami, Pangaloan Lubis, membuka wawasan kami, betapa kami putra Mandailing sangat minim pengetahuan tentang silsilah nasab/ tarombo dan sejarah tanah kelahiran kami.

Syukur kepada Allah dan terimakasih yang sangat mendalam kepada udak kami yang telah membuka cakrawala berfikir kami, urgensinya mengilmui tarombo dan sejarah tanah kelahiran.

Beliau mengambil satu sampel leluhur kami, Naulama alias Sutan Alam, ulama yang pejuang, pejuang yang ulama, berjuang bersama rakyat Mandailing mengusir penjajah, sampai akhirnya karena ulah pengkhianat beliau dan dua tokoh lainnya (Sutan Mangkutur dan lainnya) berhasil ditangkap oleh Belanda (baca: pengkhianat memang musuh yang lebih berbahaya dari penjajah).

Ketiganya ditangkap. Dengan ijin Allah (hanya Allah yang tahu bagaimana) Naulama berhasil kembali ke tanah Mandailing, adapun dua tokoh lainnya sampai hari ini masih menjadi tanda Tanya dimana makamnya.

Mengetahui leluhur kami ada pejuang, ulama, hal tersebut sangat menggugah, memberikan kebanggaan di dalam hati, kami harus meniti jalan beliau. Efek positif yang kami dapatkan setelah mengilmuinya. Pengetahuan itu memang menghidupkan, menggerakkan.

Bangsa kita, Indonesia juga sangat kaya dengan warisan sejarah yang sekiranya diilmui oleh putra bangsa ini, tentu akan menghidupkan dan menggerakkan setiap mereka yang mendengar dan membacanya. Jika tidak ingin anak bangsa ini menjadi budak di rumah sendiri di masa depan, maka anak anak bangsa ini harus dikenalkan dengan sejarah mereka. sebab, sadar atau tidak, mengakui atau tidak, indikasi-indikasi penjajahan itu jelas di hadapan mata (meskipun pemerintah, para tokoh mengatakan tidak mungkin terjadi). Tak obahnya seorang yang tubuhnya gagah perkasa, berotot, sangar wajahnya tapi saat jalan, melambai. Apa kesimpulan anda? Jawab jujur. Ya, jawabannya orang itu laki-laki yang kewanita-wanitaan. Demikian pula dengan bangsa ini. Sadarlah wahai pemuda…

Bangsamu terlihat baik-baik saja, padahal sedang sakit. Bangsamu digambarkan media sejahtera, maju dan aman-aman saja, padahal tidak demikian.
Ironinya adalah kita menemukan banyak fakta sejarah yang diselewengkan. Memang, sejarah ditulis oleh pemenang. Sebut saja misalnya, Kapten pattimura, gambar beliau diabadikan di lembar kertas uang seribuan yang lama. Nama beliau yang saya dapatkan dahulu sejak SD adalah Thomas Matulessy. Mendengar nama tersebut, kesan pertama (mohon maaf) beliau non-muslim. Padahal, beliau adalah seorang kiyai, nama aslinya adalah Ahmad, berjuang bersama santri-santrinya mengusir penjajah sampai akhirnya juga tertangkap dan dieksekusi Belanda. Itu salah satu contoh dari sekian banyak kasus lainnya.

Beberapa waktu yang lalu, kita juga dikejutkan dengan kelompok yang mengatakan bahwa PKI adalah korban. Korban? Lalu kalau PKI korban, maka fa’il nya siapa? TNI-kah? Santri-kah? Ulama-kah? Pesantren? Faktanya, 17 tokoh Madiun menjadi korban kejahatan PKI (korban diperkirakan 1920-an orang baik dari kalangan santri, kiyai dan masyarakat biasa). Lubang buaya, 7 pahlawan dari TNI yang juga menjadi korban. Peristiwa Jogjakarta dan masih banyak lainnya.
Muncul pertanyaan di benak kami. Apakah penyelewengan sejarah ini merupakan suatu kebetulan atau memang sudah menjadi skenario suatu kelompok orang tentu dengan motif tententu. Hal ini kita saksikan terjadi bukan hanya pada sejarah nasional saja, bahkan sejarah dunia sekalipun banyak yang menjadi tanda tanya, apalagi jika sudah bersinggungan dengan sejarah kebesaran Islam dan tokoh-tokohnya.

Menarik diperhatikan, bagaimana hari ini penggunaan kata jihad, khilafah, ummah dan sebagainya itu dianggap racun dan sebagiannya menganggap kosakata tersebut sebagai hal yang tidak relevan lagi. Lalu bagaimana pula segolongan orang menyebut, Islam agama pedang, disebar dengan teror (baca; peperangan). Apakah ini sebuah kebetulan? Atau memang kesengajaan..? Dan pada gilirannya berimplikasi pada meningkatnya islamophobia. 

Bagaimana agar tidak buta akan sejarah dan silsilah?
Jawabannya; perbanyaklah isra’ dan mi’raj, bersilaturahmi dengan para sesepuh, buka bab tanya jawab, kupas habis, sebagaimana yang kami rasakan, mendengar kisah tentang mereka yang sudah mati, membuat kita seakan hidup di masa mereka. Ironisnya, jumlah sesepuh hari ini yang paham betul tentang kebenaran sejarah masa lampau jumlahnya sangat sedikit, sebab itu sobat milenial, yuk manfaatkan momentum ini untuk belajar dari mereka sebelum terlambat.

Jawabannya; perbanyak literasi. Ya, Indonesia Negara yang masyarakatnya dengan minat baca tinggi, tapi daya baca rendah. Membaca adalah kunci membuka cakrawala pikiran. Menajamkan pikiran adalah dengan membaca. Kenapa pikiran seseorang tumpul? Kurangnya membaca. Kenapa bahkan lisan seseorang tidak bisa berdebat? Kurang kosakata. Kurang kosakata karena kurang literasi salah satunya sebabnya.

#meleksejarah
#awaspemalsuansejarah

Komentar

  1. Alhamdulillah, Terimakasih atas nasehatnya..
    Saran kami tulisan ini akn lebih baik jika dikupas lebih detail lagi.
    Afwan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Problem lembaga pendidikan

Tips Memilih Pondok Pesantren (Sekolah lanjutan)

Alergi dengan Kata Khilafah, Jihad dan Ummah???