Tiga dibalik tiga
Tiga perkara dibalik tiga
Kalamullah adalah petunjuk hidup paling utama. Sunnah Rasulullah ﷺ merupakan penjelas dan perinci sumber
rujukan hidup tersebut, barangsiapa berpegang teguh dengan keduanya, selamanya
ia tidak akan sesat dan celaka. Kita tidak akan pernah memahami dengan baik isi
kandungan keduanya jika bukan karena syarah dari para ulama terdahulu dan yang
belakangan. Walaupun sebagian kelompok mengklaim boleh saja direk ke Al Quran
dan hadits tanpa melalui ulama. Adapun kita, meyakini bahwa pemahaman yang
komprehensif tentang keduanya hanya akan diperoleh melalui syarahan ulama.
Diantara mereka, Zainal Abidin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, menyebutkan, Allah menyembunyikan tiga perkara di dalam tiga, Pertama, ridho Allah dalam ketaatan. Taat kepada Allah dan rasul merupakan pintu datangnya rahmat dan ridho Allah. Allah sangat mencintai hamba-hambanya yang beramal ketaatan. Sekecil apapun amalan tersebut lakukanlah dengan sepenuh hati dan istiqomah. Abu bakar menjadi mulia bukan karena amalnya yang sangat banyak, melainkan dawamnya. Seorang wanita masuk syurga bukan karena amal nya yang dahsyat melainkan memberi minum seekor kucing. Rasulullah menekankan hal ini dalam sabdanya:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ» رواه مسلم
Artinya:
“Janganlah sekali-kali kamu merendahkan perbuatan baik
walaupun sedikit, meskipun hanya bertemu saudaramu dengan wajah berseri. Diriwayatkan oleh Imam Muslim
Amal
ketaatan terdiri dari ibadah lahiriah dan bathiniah. Ibadah lahiriah semua
memahami dan hampir semua orang mampu melakukannya. Seperti shalat 5 waktu,
puasa di bulan Ramadhan, berhaji, dan sebagainya. Adapun ibadah bathiniah,
seperti pandai bersyukur, bersangka baik kepada Allah, tawakkal, ikhlas, zuhud
wara’, khusu’, qanaah, dan sebaginya, merupakan maqom khusus jika mampu dicapai
oleh seorang hamba dan tangga menuju kesana juga lebih berat karena yang
dihadapi adalah perkara hati. Hati yang di dalamnya ada nafsu tapi juga ada
cahaya ilahi. Hati yang di dalamnya ada syahwat tapi juga ada hidayah. Hati yang
di dalamnya ada waswas dari syaithan tapi juga ada fitrahnya. Semua manusia
berada diantara kedua hal tersebut. Jika nafsu yang mendahului, maka perlahan
tapi pasti akan padamlah nur ilahi tersebut, sehingga yang muncul adalah riya’,
sum’ah, ujub, kibr, bakhil, tamak, dan sebagainya dari sifat-sifat yang tercela
di dalam hati. Jika lembaga pendidikan misalnya dipimpin oleh manusia dengan sifat-sifat tersebut, bisa dipastikan lembaga tersebut tidak akan sehat, meskipun gedung dan fasilitasnya mentereng. sebab itu, mencari lembaga pendidikan untuk anak bukan berdasarkan fisik bangunannya, melainkan siapa kiyai, karakter guru bagaimana, dan pengasuh di dalamnya apakah mereka dekat dengan Al Quran dan Sunnah Nabi atau hanya sebatas di lisan saja. Mereka adalah orang-orang yang akan memberi warna kepada anak kita. Maka, jangan pernah tertipu dengan tampilan fisik.
Kedua, Allah menyembunyikan kemurkaan di dalam dosa. Manusia memang tempat salah dan khilaf.
Tiada manusia tanpa dosa. Namun, jangan sampai seseorang meremehkan dosa. Sebab
tiada yang namanya dosa kecil melainkan dipandang besar dan sebaliknya tiada
pula yang namanya dosa besar jika ditaubati. Disamping itu, dosa yang terus
dilakukan dapat membutakan hati pelakunya sehingga tidak dapat membedakan mana
yang haq dan mana yang batil. Puncaknya, turunnya bala, bencana di suatu
negeri, bisa jadi disebabkan oleh dosa-dosa tersebut.
Maha
luas rahmat Allah atas hambanya yang berdosa. Mereka punya kesempatan meraih
title taqwa apabila pelaku dosa tersebut tatkala ia menyadari telah menzalimi
dirinya, ia pun ingat kepada Allah dan bersegera memohon ampun. Sungguh orang
yang bertaubat nasuha dari dosa, seperti orang yang tanpa dosa sama sekali.
Semua manusia pasti pernah berbuat salah, tapi sebaik-baik hamba yang bersalah
adalah yang bertaubat yaitu menyesali perbuatannya, bersegera memohon ampun
kepada Allah dan bertekad untuk tidak kembali kepada kelakuannya tersebut.
Ketiga, para kekasihnya diantara manusia. Allah selalu punya cara
menyembunyikan para kekasihnya. Para kekasih itu hanya Allah yang tahu siapa
yang dipilih olehNya. Jika memang Allah tampakkan, maka sudah pasti Allah punya
maksud tersendiri. Sebab itu tidak bijak jika kita dengan mudah menjustifikasi
seseorang. Bersangka buruk atau mungkin langsung memvonis, si fulan begini dan
begitu. Apalagi jika langsung menghina, merendahkan, dan sebagainya. Kelemahan
kita manusia, sangat cepat mengambil kesimpulan. Gajah di pelipis mata tidak
kelihatan, semut di seberang pulau jelas kelihatan.
Ironi,
jika di saat sekarang ini ada orang dengan mudahnya menjelekkan, memojokkan,
bahkan mengatakan si A pendusta, bukan habib, ia menjual nama habib untuk
kepentingan ini dan itu, ia orang suruhan kelompok tertentu, dan sebagainya,
padahal belum tentu demikian kenyataannya atau bisa jadi itu keliru total. -Kita
teringat Nabi Muhammad yang jelas-jelas mereka gelari al amin saja waktu itu,
pun tidak lepas dari cacian dan cemoohan serta tuduhan-tuduhan yang keji. Seperti
dukun, tukang sihir, gila, pendusta, pemecah belah bangsa, dan sebagainya-. Atau
memang bahasa-bahasa demikian juga merupakan setingan untuk merusak dan
membunuh karakter tokoh tersebut karena dianggap ini orang berpengaruh di masa
pemilu yang akan datang misalnya. Who khows.
Tuduhan
jika dilemparkan kepada seseorang dan tidak terbukti maka bahayanya akan
kembali kepada pelempar tuduhan tersebut. Menuduh musyrik, padahal tidak dalam
kenyataannya, maka kemuysrikan tersebut akan kembali kepada pelakunya, dan
sebagainya. Kerugian yang teramat besar bagi mereka yang melemparkan tuduhan
kepada para kekasihNya sebab Allah menyatakan perang terhadap mereka yang memusuhi
kekasihNya. Oleh karena itu, janganlah mudah lisan atau jemari kita
menjustifikasi, merendahkan, atau menghina, bahkan mengkafirkan seseorang sebab
kita tidak pernah tahu siapa yang benar-benar berada di dalam kemuliaan dalam
pandangan Allah.
Para pendahulu kita, mencontohkan bagaimana menghadapi manusia dengan segala keragamannya. Mereka memposisikan manusia sesuai dengan kodratnya yaitu sebagai mahkluk yang dilahirkan dengan potensi kelebihan dan kekurangan. Ketika melihat kelebihan, maka mereka memuji-muji, bukan memuji makhluknya, melainkan Khaliqnya, yaitu Allah. Ini adalah prinsip para kekasih Allah. Mata melihat mahkluk, tapi hati mengingat Allah. Kaki menginjak tanah, tapi fikiran mereka kepada Dzat yang di wujud langit. Jika prinsip ini kita pakai dalam mualamah dengan sesama manusia, tentu tidak akan ada gesekan diantara kita. Akan sama pula keadaannya jika melihat kekurangan orang lain. Ketika melihat aib saudaranya, yang terbayang adalah luasnya rahmat Allah kepada hambanya, bahwa Allah tutupi aibnya dari manusia. Sebagian dari mereka Allah tampakkan aibnya, sebagai peringatan dan pelajaran bagi mereka yang hatinya hidup.
Komentar
Posting Komentar